Oleh: Alfie Akmad Sa’dan Hariri, SE, SH, MH.
Alfiebiroe@gmail.com
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana fitnah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan bagaimana penerapan tindak pidana fitnah dalam praktik peradilan di Indonesia, khususnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1340 K/Pid/2013, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Pengaturan tindak pidana fitnah dalam Pasal 311 KUHP, yaitu tindak pidana fitnah mencakup semua unsur dari pencemaran (Pasal 310 ayat (1)) atau pencemaran tertulis (Pasal 310 ayat (2)) ditambah 3 (tiga) unsur dari Pasal 311 ayat (1) KUHP, yaitu: 1) pelaku oleh hakim dibolehkan untuk membuktikan kebenaran dari yang dituduhkan; 2) pelaku tidak dapat membuktikannya; dan 3) yang dituduhkan itu bertentangan dengan yang diketahuinya. 2. Penerapan tindak pidana fitnah dalam praktik, yaitu melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 1340 K/Pid/2013, telah memberi penegasan bahwa Jaksa Penuntut Umum dapat mencantumkan tindak pidana fitnah dalam Surat Dakwaan, tetapi tetap merupakan wewenang hakim untuk membolehkan atau tidak kepada terdakwa untuk membuktikan kebenaran dari apa yang dituduhkannya.
Kata kunci: fitnah, 311 ayat (1)
Fitnah dirumuskan dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP yang terletak dalam Buku II Bab XVI yang berjudul “Penghinaan”. Dalam Buku II Bab XVI yang berjudul “Penghinaan”ini dimuat sejumlah tindak pidana yang berkenaan dengan kehormatan atau nama baik. Bab “Penghinaan” dimulai dengan tindak pidana pencemaran (Pasal 310 ayat 1) dan pencemaran tertulis (Pasal 310 ayat 2), dan dalam pasal berikutnya, yaitu Pasal 311 ayat (1) KUHP, diatur mengenai tindak pidana fitnah. Pasasl 311 ayat (1) KUHP ini, menurut terjemahan Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) berbunyi sebagai berikut, “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Dengan melihat rumusan Pasal 311 ayat (1) jelas tindak pidana fitnah mempunyai kaitan dengan tindak pidana pencemaran dan pencemaran tertulis dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Pasal 311 ayat (1) dimulai dengan kata-kata “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis” menunjukkan adanya hubungan antara tindak pidana fitnah dengan pelaku yang melakukan tindak pidana pencemaran atau pencemaran tertulis.
Dalam kenyataan hubungan ini menimbulkan pertanyaan mengenai pengaturan dari Pasal 311 ayat (1) KUHP, terutama mengenai unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam penerapan Pasal 311 ayat (1) KUHP yaitu apakah hanya unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP ataukah juga harus dibuktikan unsur-unsur yang dirumuskan dalam Paal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Selain kajian teoritis, dipandang perlu juga untuk melihat bagaimana praktik peradilan berkenaan dengan tindak pidana fitnah ini, yang dalam hal ini akan dibahas mengenai kasus yang pada akhirnya diputuskan dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 1340 K/Sip/2013, tanggal 22 Pebruari 2014.
Di masa sekarang ini di Indonesia, kehormatan dan nama baik umumnya dipandang sebagai hal yang penting sehingga pengaduan berkenaan dengan pelanggaran kehormatan dan nama baik sering diajukan ke pihak kepolisian yang berlanjut ke pengadilan, karenanya pembahasan mengenai tindak pidana memiliki urgensi saat ini. Berdasarkan hal itu maka dalam rangka penulisan skripsi, pokok ini telah dipilih untuk dibahas di bawah judul “Tindak Pidana Fitnah dalam Pasal 311 Ayat (1) KUHP (Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 1340 K/Pid/2013)”.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif.
Buku II (Kejahatan) Bab XVI berkepala “Penghinaan” yang di dalamnya diatur berbagai macam tindak pidana berkenaan dengan kehormatan atau nama baik, salah satu di antaranya yaitu tindak pidana yang dalam bahasa Belanda disebut “laster” yang oleh Tim Penerjemah BPHN diterjemahkan sebagai “fitnah”.5 Tindak pidana fitnah (laster) ini diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP.
Terjemahan oleh Tim Penerjemah BPHN, yang menerjemahkan Pasal 311 ayat (1) KUHP sebagai berikut: Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Dengan demikian, unsur-unsur yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam hal ia mendakwakan tindak pidana fitnah Pasal 311 ayat (1) KUHP, yaitu:
Berikut ini unsur-unsur dari tidnak pidana fitnah tersebut akan dibahas satu persatu.
Kemudian tentang surat dakwaan ini oleh Alfie akhmad dikatakan bahwa, dalam rangka menyusun suatu Surat Dakwaan, sudah dapat didakwakan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan fitnah apabila dari hasil pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) penuntut umum yakin akan hal itu, kendati terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan tersebut berusaha menerangkan bahwa yang dituduhkannya itu adalah benar-benar telah pernah menjadi kenyataan.
Jadi, menurut Alfie Akhmad, dalam suatu Surat Dakwaan sudah dapat dimasukkan tindak pidana fitnah dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP. Selanjutnya mengenai siapa yang berwenang membolehkan terdakwa membukti kebenran dari apa yang dituduhkan oleh Sianturi dikatakan bahwa, Menurut pasal 312, hanya dalam dua hal saja pembuktian atas kebenaran tuduhan dibolehkan yaitu dalam hal:
Dari pasal 312 ke 1 ini dapat disampaikan bahwa yang berwenang membolehkan itu adalah hakim, karena justru hakim inilah yang membutuhkannya guna menimbang keterangan terdakwa apakah perbuatan terdakwa adalah demi kepentingan umum atau terpaksa untuk bela diri. Dengan menggunakan penafsiran secara sistematis, maka untuk tersebut pasal 312 ke 2 juga kewenangan itu ada pada hakim, untuk dapat menyatakan yang dihina itu bersalah atau tidak (pasal 314 ayat 1).
Alfie Akhmad secara tegas menjawab apakah dalam Surat Dakwaan sudah dapat dimuat dakwaan tindak pidana fitnah (Pasal 311 KUHP) sebelum pemeriksaan di sidang dimulai. Alfie Akhmad selanjutnya menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 312 KUHP maka yang berwenang membolehkan terdakwa untuk membuktikan kebenaran dari apa yang dituduhannya adalah hakim.
Pelaku tidak membuktikannya berarti bahwa hakim telah membolehkan terdakwa untuk membuktikan kebenaran tuduhannya tetapi terdakwa tidak dapat membuktikan kebenaran dari apa yang dituduhkannya itu.
Tuduhan itu dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahuinya. Mengenai unsur ini oleh Alfie Akhmad dikatakan sebagai berikut, Yang dimaksud dengan yang diketahuinya di sini adalah yang dinyatakan melalui panca-inderanya sendiri. Setidak-tidaknya telah diadakan penelitian tentang sesuatu yang semula didengarnya dari orang lain. Jika bertentangan dengan yang diketahuinya berarti bertentangan dengan yang dinyatakannya melalui panca-inderanya sendiri atau bertentangan dengan penelitiannya itu. Dhi termasuk juga apabila semula sama sekali tidak ada pengetahuannya tentang hal itu, lalu “ngarang” seenaknya (isapan jempol).
Menurut yang dikatakan oleh Alfie Akhmad, pengertian unsur bahwa tuduhan itu dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahuinya memiliki dua alternatif, yaitu: 1) pelaku telah mencari tahu (informasi) dan apa yang dituduhkannya bertentangan dengan apa yang telah diketahuinya melalui informasi sebelumnya; dan 2) pelaku sama sekali tidak mengetahui kebenaran dari apa yang dituduhkannya karena ia hanya mengarang- ngarang saja dalam menuduhkan itu. Berkenaan dengan terjemahan-terjemahan Pasal 311 ayat (1) KUHP, terjemahan P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir serta terjemahan dari R. Soesilo, dimulai dengan kata “barangsiapa”, sedangkan terjemahan Tim Penerjemah BPHN dan terjemahan Alfie Akhmad dimulai dengan kata-kata “Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis …”. Rumusan tindak pidana yang dimulai dengan subjek tindak pidana, antara lain kata “barangsiapa” akan lebih mudah dipahami, sehingga sebaiknya rumusan tindak pidana fitnah perlu diperbaiki untuk dimulai dengan subjek tindak pidana.
Beberapa pengaturan yang berkenaan dengan tindak pidana fitnah Paal 311 ayat (1) KUHP, selain Pasal 312, juga Pasal 313 dan Pasal 314 KUHP. Pasal 313 KUHP menentukan bahwa, pembuktian yang dimaksud dalam Pasal 312 tidak dibolehkan, jika hal yang dituduhkan hanya dapat dituntut atas pengaduan dan pengaduan tidak dimajukan. R. Soesilo memberi contoh misalnya seorang telah menyiarkan tuduhan bahwa seorang telah berbuat zinah (overspel, Pasal 284 KUHP), kemudian menyatakan bahwa apa yang dikemukakannya itu demi kepentingan umum atau membela diri, maka dalam hal ini ia oleh hakim tidak dapat dibolehkan untuk membuktikan tentang betul atau tidaknya perihal perzinahan (overspel) itu apabila terhadap dugaan perzinahan (overspel) tersebut tidak ada pengaduan yang diajukan oleh suami/isteri yang dirugikan.
Pasal 314 KUHP memuat beberapa hal berkaitan dengan pembuktian tentang kebenaran dari apa yang dituduhkan dalam kaitannya dengan status hukum orang yang dituduh oleh pelaku. Menurut Pasal 315 ayat (1), jika yang dihina, dengan putusan hakim yang menjadi tetap, dinyatakan bersalah atas hal yang dituduhkan, maka pemidanaan karena fitnah tidak mungkin. Jadi, jika pelaku menuduh seseorang korupsi, kemudian orang yang dituduh telah diadili dalam tindak pidana korupsi dan telah dinyatakan bersalah serta telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka penuduh tidak dapat dihukum karena fitnah. Ini karena putusan tersebut merupakan bukti bahwa apa yang dituduhkan itu benar.
Menurut Pasal 314 ayat (2), jika dia dengan putusan hakim yang menjadi tetap dibebaskan dari hal yang dituduhkan, maka putusan itu dipandang sebagai bukti sempurna bahwa hal yang dituduhkan tidak benar. Sebaliknya, jika orang yang dituduh melakukan perbuatan tertentu kemudian telah diadili dan putusannya diobebaskan dari hl yang dituduhkan, maka putusan bebas itu merupakan bukti sempurna bahwa si penyebar tuduhan itu telah menyebarkan tuduhan tidak benar.
Menutut Pasal 314 ayat (3) KUHP, jika terhadap yang dihina telah dimulai penuntutan pidana karena hal yang dituduhkan padanya, maka penuntutan karena fitnah dihentikan sampai mendapat putusan yang menjadi tetap tentang hal yang dituduhkan. Menurut ketentuan ini jika pelaku menuduh seseorang melakukan tindak pidana korupsi, kemudian terhadap yang dituduh telah mulai dilakukan penuntutan, maka perkara fitnah dari orang yang menuduh itu dihentikan sementara sampai ada putusan tetap tentang hal yang dituduhkan itu. Jika telah ada putusan tetap maka konsekuensinya adalah salah satu dari dua kemungkinan yang diatur dalam Pasal 314 ayat (1) atau ayat (2) KUHP.
Kasus ini ini bermula ketika ketua, sekretaris (Terdakwa) dan beberapa petani dari suatu kelompok petani penggarap hutan diundang oleh kepala desa untuk membicarakan mengenai tanah yang digarap oleh kelompok petani itu, di mana kepala desa menyatakan tanah yang digarap itu merupakan asset desa dan minta dikembalikan kepada desa. Permintaan itu tidak diterima oleh kelompok petani itu, dan beberapa hari kemudian Terdakwa mengadakan rapat dengan para anggota di mana Terdakwa menyampaikan konsep gugatan terhadap Kepala Desa yang kemudian Terdakwa dengan mengatasnamakan kelompok tani penggarap hutan itu membawa konsep tersebut ke pengadilan negeri untuk dijadikan gugatan perdata. Sebagai dasar gugatan dikemukakan antara lain dalam surat gugatan, bahwa munculnya permasalahan atas lahan milik Kelompok tani penggarap hutan belantara tersebut ketika dilantiknya Tergugat II (saksi Hermanto) selaku Kepala Desa Margalaksana (Tergugat I), dimana Tergugat II berasumsi bahwa lahan milik Kelompok Tani penggarap tanah hutan belantara tersebut merupakan lahan kas Desa Margalaksana dan yang lebih mengherankan lagi dengan menggunakan sikap yang sangat arogan Tergugat II selaku Kepala Desa (Tergugat I) menjadikan lahan milik Kelompok Tani penggarap tanah hutan belantara sebagai peluang bisnis pribadinya, yang mana Tergugat II sekaligus selaku Tergugat I berkeinginan menjual lahan milik Kelompok Tani penggarap tanah hutan belantara tersebut kepada pihak-pihak yang ditentukan oleh Tergugat II;
Dalam gugatan ini kepala desa didalilkan sebagai berkeinginan menjadikan lahan garapan kelompok tani itu sebagai peluang bisnis pribadi dengan cara menjual lahan tersebut kepada pihak-pihak yang ditentukan oleh kepala desa. Gugatan yang disampaikan Terdakwa ke pengadilan negeri ini juga telah diberitakan di dua media online. Tetapi, sebelum memasuki tahap pembacaan gugatan Terdakwa telah mengajukan pencabutan gugatan sehingga diterbitkan penetapan pengadilan negeri tentang pencabutan gugatan tersebut. Kepala desa yang merasa dirugikan karena nama baiknya telah tercemar selaku kepala desa kemudian melaporkan perbuatan Terdakwa tersebut kepada kepolisian setempat. Jaksa Penuntut Umum telah menuntut Terdakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu Dakwaan Kesatu Pasal 311 ayat (1) KUHP atau Dakwaan Kedua Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Dalam Dakwaan Kesatu, setelah menguraikan perbuatan yang dilakukan Terdakwa dalam dakwaan dinyatakan bahwa,
Dalam Dakwaan Kedua, setelah menguraikan perbuatan yang dilakukan Terdakwa dalam dakwaan dinyatakan bahwa,
– Bahwa terhadap gugatan di atas dibuat sendiri oleh Terdakwa dan kebenaran terhadap isi surat tersebut tidak dapat dibuktikan oleh Terdakwa karena saksi Hermanto selaku Kepala Desa Margalaksana tidak merasakan melakukan hal-hal sebagaimana yang dituduhkan oleh Terdakwa dalam isi gugatannya ;
Bahwa akibat adanya isi surat gugatan perdata yang ditujukan kepada Saksi Hermanto selaku Kepala Desa Margalaksana membuat saksi Hermanto merasakan dirugikan karena nama baiknya telah tercemar selaku Kepada Desa Margalaksana dan melaporkan perbuatan Terdakwa tersebut kepada Polres Tasikmalaya untuk ditindak lanjuti ;
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 310 Ayat (1) KUHP
Tuntutan pidana Penuntut Umm, antara lain: 1. Menyatakan Terdakwa Yayat alias Yayat bin Samsi (alm), telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja menyerang kehornatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui oleh umum, jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis diperbolehkan membuktikannya apa tuduhan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, sebagaimana diatur dalam Pasal 311 Ayat (1) KUHP, sesuai dakwaan alternatif Kesatu kami; 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Yayat alias Yayat bin Samsi (alm), dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan perintah agar Terdakwa segera ditahan.
Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 70/pid.B/2013/PN.Tsm tanggal 09 Juni 2013 yang amar lengkapnya sebagai berikut :
Menyatakan Terdakwa Yayat alias Yayat bin Samsi (alm) tersebut di atas, terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana;
Tetap terlampir dalam berkas perkara
Terhadap putusan pengadilan negeri ini Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan permohonan kasasi dengan alasan keberatan terhadap pertimbangan pengadilan negeri bahwa, “tindakan Terdakwa yang mengajukan gugatan kemudian mencabut sebelum saksi Hermanto menyampaikan jawabannya memang telah menyerang kehormatan atau nama baik saksi Hermanto namun Terdakwa melakukan perbuatan-perbuatannya dalam bentuk perbuatan yang sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia sehingga tidak terdapat sifat melawan hukum dalam perbuatan Terdakwa”. Menurut Jaksa Penuntut Umum, “bahwa dalam dakwaan Penuntut Umum tidak menjadikan objek pembuktian terhadap pencabutan gugatan tetapi apa yang ada dalam materi gugatan yang dibuat Terdakwa yang Terdakwa sendiri tidak dapat membuktikan karena Pasal Pasal 311 Ayat (1) KUHP dengan unsur pasal ‘…, jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis diperbolehkan membuktikannya apa tuduhan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui’.”
Dengan demikian, menurut pengadilan negeri perbuatan terdakwa seperti mengajukan gugatan perdata dan melakukan pencabutan gugatan perdata itu merupakan perbuatan yang sesuai dengan hukum positif sehingga perbuatan-perbuatan terdakwa itu tidak bersifat melawan hukum. Sebaliknya menurut Penuntut Umum, yang seharusnya menjadi objek perhatian yaitu unsur dalam Pasal 311 ayat (1), yaitu Terdakwa telah menuduh kepala desa sehingga merupakan pencemaran dan Terdakwa telah diberi kesempatan membuktikan tuduhannya tetapi Terdakwa tidak membuktikannya.
Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 1340 K/Pid/2013 telah memberikan pertimbangan,
Berdasarkan pertimbangan tersebut Mahkamah Agung telah memutuskan “Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tasikmalaya tersebut”.
Dengan demikian, menurut Mahkamah Agung, asumsi kepala desa (saksi Hermanto) bahwa “lahan milik Kelompok Tani penggarap tanah hutan belantara tersebut merupakan lahan kas Desa Margalaksana” atau merupakan asset desa, merupakan asumsi yang justru harus dibuktikan oleh kepala desa (saksi Hermanto) terlebih dahulu. Sehingga justru keliru jika kepala desa (saksi Hermanto) Penggugat/Terakwa ke polisi. Tindakan Terdakwa dengan mengajukan gugatan merupakan perbuatan yang sesuai dengan hukum positif Indonesia, sehingga perbuatannya itu tidak bersifat melawan hukum.
Putusan pengadilan negeri dan putusan Mahkamah Agung tersebut menunjukan bahwa pembuktian tindak pidana banyak terletak pada pembuktian mengenai apakah sebelumnya telah terjadi perbuatan pencemaran atau tidak. Juga putusan Mahkamah Agung ini memberi ketegasan bahwa diajukannya gugatan perdata bukan merupakan bentuk pencemaran karena pengajuan gugatan merupakan perbuatan yang sesuai dengan hukum positif sehingga perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum.
Mahrus Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta, Jakarta, 2010.
, Hukum Acara Pidana Indonesia, cet.8, Sinar Grafika, Jakarta, 2014.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, jilid 1, Pustaka Kartini, Jakarta, 1985.
Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, 1994.
Jonkers, J.E., Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda diterjemahlan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara dari Handboek vanhet Nederlandsch-Indische Strafrecht, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Lamintang, P.A.F., dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983.
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, cet.2, Bina Aksara, Jakarta, 1984.
Poernomo,Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1978.
Prakoso, Djoko,SH, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dalam Proses Hukum Acara Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, cet.3, Eresco, Bandung, 1981.
, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, ed.3 cet.4, Refika Aditama, Bandung, 2010.
Sianturi, S.R., Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1983.
Soerjono Soekanto, S. dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet.16, Rajawali Pers, Jakarta, 2014
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991.
Subekti, R. dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, cet.15, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003.
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
Utrecht, E., Hukum Pidana I, cet.2, Penerbitan Universitas, Bandung, 1960.
Widnyana, I Made, Asas-asas Hukum Pidana. Buku Panduan Mahasiswa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010.
Mahkamah Agung, “Putusan Nomor 1330 K/Pid/2016”, https://putusan.mahkamahagung.go.id/pu tusan/5423b7cfaac61cce303f758ef80fa5ff,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana
Tinggalkan Komentar